“I believe that access to electricity and light can radically improve people‚ lives.”
–Olafur Eliasson
Tanpa kita sadari, setiap dari kita membutuhkan listrik untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti halnya untuk bekerja, belajar, berbisnis, dan aktivitas lainnya. Sejalan dengan hal itu, pemenuhan kebutuhan energi listrik terbesar saat ini dapat diperoleh salah satunya dari batu bara, secara harfiah batu batu merupakan material batu arang yang tertimbun berjuta tahun yang lalu dan dapat dimanfaatkan dengan baik untuk pembangkit listrik tenaga uap ataupun hibrid dengan gas. Namun permasalahan baru muncul tatkala jumlahnya yang kian terbatas, penggunaan secara masif, dan dampak yang dihasilkan yaitu emisi gas karbon yang tinggi. Berdasarkan data Climate Watch pada tahun 2020 sektor energi menyumbang sebesar 73,2% sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) [1]. Dampak dari emisi GRK dalam jangka waktu yang panjang akan berakibat kenaikan suhu udara atau yang biasanya disebut dengan pemanasan global (global warming).
Seiring dengan isu lingkungan dan pemanasan global, dalam beberapa tahun terakhir, perlunya upaya mereduksi peningkatan emisi GRK melalui transisi energi dari konvensional menuju energi terbarukan. Manfaat penggunaan EBT yaitu ramah lingkungan, mudah diperoleh, biaya pembangkitan sangat kompetitif dan potensinya berlimpah sehingga dinilai efektif dalam mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil. Beberapa jenis EBT seperti surya, angin, hydropower atau tenaga air, panas bumi, bioenergi dan gelombang laut merupakan beberapa potensi EBT yang tersedia di Indonesia, umumnya setiap pulau mempunyai potensi EBTnya masing-masing bergantung pada kondisi alam. Berdasarkan Indonesia Energy Outlook tahun 2019 rincian potensi EBT yaitu hydropower (94,3 GW), panas bumi (28,5 GW), bioenergi (32,6 GW), bahan bakar nabati (200 Bph), surya (207,8 GW), angin (60,6 GW), dan energi kinetik air laut (17,9 GW) [2]. Sedangkan kita ketahui produksi energi listrik harian di Indonesia mencapai 172.622,31 GWh per tahun atau 472,93 GWh per hari [3]. Dari data diatas dapat kita simpulkan bahwa surya mempunyai potensi tertinggi, dan penggunaan EBT di Indonesia sangat feasible untuk diimplementasikan.
Beberapa potensi tersebut tidak semerta-merta dapat diwujudkan tanpa kajian ilmiah yang rasional dengan melibatkan beberapa aspek lainnya. Karena beberapa sumber energi seperti surya, angin, dan energi kinetik air laut cenderung fluktuatif sepanjang waktu dan intermittent, berkaca dari sifat itulah menyebabkan keandalan sistem menjadi rendah, munculnya permasalahan kualitas daya, dan merusakan peralatan-peralatan sistem tenaga (seperti generator, transformator, sistem proteksi hingga ke beban). Pelbagai solusi ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini diantaranya menggunakan energy storage (ES), interkoneksi antar pembangkit, smart grid, maupun manajemen energi di sisi demand [4]. Salah satu potensi yang paling feasible untuk diterapkan yaitu ES, pengertian ES adalah teknologi yang mampu menyimpan energi listrik, dan menyalurkan pada saat dibutuhkan. Menerapkan teknologi ES dapat memberikan beberapa keuntungan bagi sistem grid maupun standalone system, seperti memungkinkan penetrasi energi, ekonomis, memungkinkan pemerataan beban dan peak shaving, pengaturan frekuensi, meredam osilasi harmonisa, peningkatan kualitas dan keandalan daya [5].
Beberapa jenis teknologi ES terbagi menjadi 3 (tiga) kategori utama, yaitu reserve & response services: jenis ES yang durasi discharge-nya sangat cepat, kapasitasnya terbatas, dan sesuai untuk migitasi smoothing daya. Kedua, transmission & distribution support grid: jenis ES yang durasi dischage-nya berkisar detik-menit, kapasitasnya 100 kW – 50 kW, sesuai untuk desentralisasi, portable, dan umurnya berkisar 5 tahun. Ketiga, bulk power management: jenis ES yang dapat mensuplai beban dalam jangka waktu yang lama, selain itu kapasitasnya juga tinggi, namun perlu reservoir untuk kapasitas penyimpanannya. Dalam perkembangannya teknologi ES bakal terus berkembang guna meningkatkan efisiensi dan optimal, serta mendapatkan bahan, material, sistem operasi dan pemeliharaan yang ekonomis [6].
Untuk saat ini Indonesia belum mempunyai ES, lantas baiknya kita menilik prinsip kerja ES, beberapa negara lain yang sudah menerapkan ES, dan potensi ES di Indonesia. ES yang pertama yaitu pumped hydro energy storage (PHES) yaitu ES yang mempunyai minimal dua unit reservoir (umumnya danau dan waduk) yang memanfaatkan potensial air sebagai media penyimpan energi, artinya apabila energi listrik digunakan maka reservoir atas ke reservoir bawah atau bekerja selayaknya PLTA, dan apabila terdapat aliran listrik terjadi surplus maka air akan dipompa ke reservoir atas. Negara China, Jepang, dan Amerika Serikat memiliki pumped hydro energy storage (PHES) yang aktif beroperasi dengan kapasitas lebih dari 19.000 MW [7], dan di Indonesia terdapat 26.000 titik potensi PHES dengan kapasitas mencapai 821.000 GWh [8]. Kedua, compressed air energy storage (CAES) ialah jenis ES memanfaatkan udara bertekanan sebagai penyimpan ES dengan injeksi udara terkompres, prinsip kerja dari CAES yaitu melakukan charging saat off-peak hours dan discharging saat peak hours, tujuannya yaitu menghasilkan listrik lebih terjangkau [9]. negara yang memiliki CAES yaitu Jerman berkapasitas 290 MW dan Amerika Serikat berkapasitas 110 MW [10], Indonesia sendiri kaya akan gua kapur bawah tanah (cavern), gua-gua tersebut sebenarnya dapat difungsikan sebagai ES, namun semakin meningkatkan industri semen di Tanah Air menyebabkan pengurangan potensi CAES secara drastis, selain itu sering terjadinya gempa bumi juga dapat merusak cavern. Ketiga adalah large-scale battery lithium-ion, lithium-ion skala besar pada umumnya sama seperti baterai, hanya saja size dan kapasitasnya jauh lebih besar. Senyawa baterai lithium-ion adalah LiFP6, sebagian besar materialnya membutuhkan mineral lithium, Indonesia sendiri memiliki sumber mineral litium yang sangat berlimpah, hal ini dikarenakan wilayah Indonesia meliputi banyak gunung aktif sehingga batuan granit dan lempung montmorillonit banyak mengandung mineral lithium. Kelebihan dari large-scale battery lithium-ion ialah fleksibilitas tinggi, cocok untuk daerah rural area maupun di pulau terpenting, berkapasitas besar, dan efisiensi tinggi [11], untuk large-scale battery lithium-ion juga banyak diaplikasi di China, Amerika Serikat, India, Eropa, hingga Australia [12]. Untuk jenis ES seperti supercapacitor/ultracapacitor, flywheel, hidrogen, fuel cell, dan beberapa jenis baterai selain lithium-ion masih sangat terbatas penggunaannya, hal ini diakibatkan kapasitas yang terbatas, capital cost yang mahal, dan material penyusunnya yang langka.
Dari sisi ekonomis (capital cost) biaya per-kW, per-kWh, hingga per-kWh/cycle PHES jauh lebih murah disusul CAES dan termahal yaitu large-scale lithium-ion. Sedangkan dari sisi lifetime PHES & CAES dapat berumur puluhan tahun, sedangkan large-scale lithium- ion umumnya mampu bertahan 5 (lima) tahun. Dari sisi fleksibilitas lithium-ion jauh lebih unggul karena mudah dalam mobilitasnya. Maka yang dapat disimpulkan ES memberikan peluang peningkatan keandalan dan perbaikan kualitas daya dari pembangkitan EBT. Pada ulasan diatas telah menjelaskan bagaimana potensi pelbagai ES di Indonesia, diantara potensi yang dapat mendukung sistem kelistrikan di Indonesia yaitu PHES, dan baterai lithium-ion. Secara teknis, hal ini memungkinkan untuk direalisasikan mengingat potensi yang tersedia sangat berlimpah, kapasitas ES yang besar, capital cost terjangkau, keamanan, dan ramah lingkungan. Secara ekonomis, perlu dilakukan kajian lebih mendalam dan menyeluruh yang juga memperhitungkan aspek biaya/investasi, perawatan, dan infrastruktur itu sendiri. Beberapa upaya diusulkan untuk akselerasi ES di Indonesia.
———– “ Put good energy out. Get good energy back-Lawrence Tierney!” ————-
Referensi:
[1]. Climate Watch, the World Resources Institute, “Emissions by sector,” 2020. [Online]. Available: https://ourworldindata.org/emissions-by-sector.
[2]. Dewan Energi Nasional, “Indonesia Energy Outlook 2019,” ISSN 2527 3000. [Online]. Available: https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-outlook-energi-indonesia-2019-bahasa-indonesia.pdf.
[3]. PT. PLN (Persero), “Statistik PLN 2020,” 01001–200622, 2020. [Online]. Available: https://web.pln.co.id/statics/uploads/2021/04/Statistik-Indonesia-2020-unaudited.pdf.
[4]. D. Gielen, F. Boshell, D. Saygin, M. D. Bazilian, N. Wagner, and R. Gorini, “The role of renewable energy in the global energy transformation,” Energy Strategy Reviews, vol. 24, pp. 38–50, Apr. 2019, doi: 10.1016/j.esr.2019.01.006.
[5]. S. Koohi-Fayegh and M. A. Rosen, “A review of energy storage types, applications and recent developments,” Journal of Energy Storage, vol. 27, p. 101047, Feb. 2020, doi: 10.1016/j.est.2019.101047.
[6]. K. Møller, T. Jensen, E. Akiba, and L. Hai-Wen, “Hydrogen – A sustainable energy carrier,” Progress in Natural Science: Materials International, vol. 27, Jan. 2017, doi: 10.1016/j.pnsc.2016.12.014.
[7]. Madhumitha Jaganmohan, “Global pumped storage capacity by select country 2020,” 2021. [Online]. Available: https://www.statista.com/statistics/689667/pumped-storage-hydropower-capacity-worldwide-by-country/
[8]. M. Stocks, A. Blakers, C. Cheng, and B. Lu, “Towards 100% renewable electricity for Indonesia: the role for solar and pumped hydro storage,” in 2019 International Conference on Technologies and Policies in Electric Power & Energy, Oct. 2019, pp. 1–4. doi: 10.1109/IEEECONF48524.2019.9102581.
[9]. N. M. Jubeh and Y. S. H. Najjar, “Power augmentation with CAES (compressed air energy storage) by air injection or supercharging makes environment greener,” Energy, vol. 38, no. 1, pp. 228–235, Feb. 2012, doi: 10.1016/j.energy.2011.12.010.
[10]. A. Foley and I. Díaz Lobera, “Impacts of compressed air energy storage plant on an electricity market with a large renewable energy portfolio,” Energy, vol. 57, pp. 85–94, Aug. 2013, doi: 10.1016/j.energy.2013.04.031.
[11]. J. Shen and A. Khaligh, “A Supervisory Energy Management Control Strategy in a Battery/Ultracapacitor Hybrid Energy Storage System,” IEEE Transactions on Transportation Electrification, vol. 1, no. 3, pp. 223–231, Oct. 2015, doi: 10.1109/TTE.2015.2464690.
[12]. Statista Research Department, “Share of the lithium-ion battery production capacity worldwide by country 2020&2025,” 2021. [Online]. Available: https://www.statista.com/statistics/1249871/share-of-the-global-lithium-ion-battery-manufacturing-capacity-by- country/
Ariq Kusuma Wardana adalah mahasisws S2 Pascasarjana Teknik Sistem Tenaga, Departemen Teknik Elektro, ITS, serta Divisi Pengabdian Masyarakat, Adidaya Initiative. Dapat ditemui di instagram dengan nama pengguna @ariqkusuma26