Kondisi geografis Indonesia telah menjadi berkah akan kelimpahan berbagai kekayaan alam di Indonesia, salah satunya hutan hujan tropis. Berdasarkan sirkulasi udara dunia, posisi Indonesia yang berada pada garis lintang 6° LU- 11° LS mengakibatkan wilayah Indonesia berada pada sel Hadley. Posisi Indonesia pada sel tersebut memiliki karakteristik bertekanan udara rendah sehingga angin dari lintang yang lebih tinggi akan membawa uap air dalam jumlah besar, memungkinkan presipitasi lebih intens terjadi di wilayah berlintang rendah disekitar ekuator. Kondisi tersebut sangat cocok bagi perkembangan kehidupan tumbuhan hutan hujan tropis.
Gambar 1 Sel Hadley, Ferrel, dan Polar (groups.seas.harvard.edu)
Melansir dari World Resources Institute, Indonesia mengalami kehilangan hutan lebih dari 200.000 hektar di tahun 2020. Kondisi itu menjadikan Indonesia menempati posisi ke-4 sebagai negara dengan kehilangan lahan hutan terbanyak di dunia, berada di bawah Brazil, Republik Demokratik Kongo, dan Bolivia. Sementara itu, dari sumber yang sama juga dikatakan bahwa kondisi tersebut sudah lebih baik dibandingkan kondisi tiga tahun sebelumnya yang mendekati angka 300.000 hektar. Bahkan jika melihat pada rentang waktu 2004 – 2020, kehilangan hutan di Indonesia pada tahun 2020 merupakan kehilangan lahan hutan terendah (Gambar 1). Selain itu, kondisi Indonesia terbilang baik jika dibandingkan dengan kondisi kehilangan lahan hutan tropis dunia (Gambar 2) yang mengalami peningkatan kehilangan luas lahan sebesar 12% dari tahun 2019 ke tahun 2020.
Gambar 2 Grafik kehilangan hutan primer di Indonesia dari tahun 2002 – 2020 (WRI)
Gambar 3 Grafik kehilangan hutan tropis dunia dari tahun 2002 – 2020 (WRI)
Kecenderungan peningkatan kenaikan tren kehilangan luas lahan hutan di Indonesia dari tahun 2002 – 2012 dapat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Margono dkk. (2014) mengenai kehilangan tutupan lahan hutan primer di Indonesia pada tahun 2000 – 2012. Pada penelitian tersebut, terlihat hutan primer untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan mengalami tren kenaikan yang sangat signifikan. Kondisi tersebut sangat berbeda jika dibandingkan wilayah lain di Indonesia yang tren kehilangan wilayah hutan primernya cenderung konstan (Gambar 4). Secara lebih spesifik, kawasan hutan yang berjenis lowland dan wetland mengalami peningkatan dan hutan primer berjenis upland dan montane cenderung konstan. Jika melihat pada kondisi pulau Kalimantan dan Sumatera, terlihat suatu perbedaan yang mencolok. Pulau Sumatera mengalami peningkatan tren kehilangan luas tutupan hutan primer lowland yang lebih tinggi dibandingkan wetland. Sedangkan pulau Kalimantan cenderung mengalami peningkatan kehilangan luas tutupan lahan hutan primer wetland yang lebih tinggi dibandingkan lowland. Sementara itu, untuk tutupan lahan di pulau Papua tidak terlalu terlihat tren peningkatan pada masing-masing jenis hutan primer (Gambar 5).
Hilangnya hutan primer kebanyakan terjadi pada hutan produksi dengan total kehilangan 14.000 hektar/tahun dari 27.000 hektar/tahun luas hutan primer yang hilang. Menurut Margono dkk. (2014) telah terjadi perubahan kecenderungan pengelolaan konversi lahan hutan produksi terbatas pada dataran rendah akibat lahan hutan lainnya semakin terbatas. Sementara itu, permasalahan pada tutupan lahan primer berjenis wetland berpusat pada proses dewatering untuk pembuatan lahan agroindustri.Â
Gambar 4 Grafik laju peningkatan kehilangan hutan primer di Indonesia, Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Maluku, Jawa dan Bali, dan Nusa Tenggara dari tahun 2001 – 2012 (Margono dkk., 2014)
Gambar 5 Grafik laju peningkatan kehilangan hutan primer di Indonesia, Sumatera, Kalimantan, dan Papua berdasarkan bentuk lahan dari tahun 2001 – 2012(Margono dkk., 2014)
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah memberikan efek yang signifikan terhadap buruknya kondisi deforestasi di Indonesia dari tahun 2000 – 2012. Beberapa kebijakan tersebut adalah: larangan permanen untuk mengeluarkan izin baru untuk membuka hutan primer dan lahan gambut, moratorium izin perkebunan kelapa sawit baru, mitigasi kebakaran hutan, program perhutanan sosial, rehabilitasi lahan, dan peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan. Selain itu, kondisi industri minyak kelapa sawit di tahun 2013 yang terguncang akibat penurunan harga minyak kelapa sawit global turut membawa angin segar bagi keberadaan hutan di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, kondisi pandemi covid-19 dan adanya La-Nina juga turut memberikan efek penurunan angka deforestasi di Indonesia.
Kondisi seperti ini tentunya dapat berubah secara dinamis, fluktuasi yang terjadi pada harga minyak kelapa sawit global harus diwaspadai, mengingat kenaikannya secara signifikan dapat mempengaruhi tingkat deforestasi di Indonesia. Selain itu, kemungkinan adanya El-Nina pasca La-Nina dan tumbuhnya ekonomi pasca covid-19 turut memberikan kekhawatiran terhadap kemungkinan peningkatan angka kehilangan hutan. Sebagai negara yang memiliki wilayah hutan tropis terbesar ke-3 di dunia, hendaknya kita perlu mengingat kembali pentingnya menjaga kelestarian hutan di Indonesia.
Referensi
China Dialogue. 2021. Deforestation is slowing, but palm oil still major driver
https://chinadialogue.net/en/nature/palm-oil-and-deforestation-today/ (Diakses pada 21 Juni 2022)
MONGABAY. 2021. Deforestation in Indonesia hits record low, but experts fear a rebound
https://news.mongabay.com/2021/03/2021-deforestation-in-indonesia-hits-record-low-but-experts-fear-a-rebound/ (Diakses pada 21 Juni 2022)
NEWS18. 2021. World Rainforest Day 2021: Theme, History and Significance
https://www.news18.com/news/lifestyle/world-rainforest-day-2021-theme-history-and-significance-3875783.html (Diakses pada 21 Juni 2022)
WRIÂ INDONESIA. 2021. Primary Rainforest Destruction Increased 12% from 2019 to 2020
https://wri-indonesia.org/en/blog/primary-rainforest-destruction-increased-12-2019-2020 (Diakses pada 21 Juni 2022)
Margono, B. A., Potapov, P. V., Turubanova, S., Stolle, F., & Hansen, M. C. (2014). Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change, 4(8), 730–735. doi:10.1038/nclimate2277 Â