Apa itu Pajak Karbon?
Carbon Tax atau Pajak karbon didasarkan pada ide “Agar orang-orang mengurangi minat mereka akan ‘sesuatu’, mereka harus membayar atas ‘sesuatu’ tersebut”. Dalam hal ini, ‘sesuatu’ tersebut adalah “penggunaan bahan bakar fosil”. Secara harfiah, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada kandungan karbon bahan bakar fosil yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca, seperti metana dan karbon dioksida (Tax Foundation, 2020). Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong peralihan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (IMF, 2019).
Pajak karbon ada sebagai respon terhadap krisis iklim yang semakin memburuk sejak revolusi industri 1760. Memang, berbagai cara telah dilakukan umat manusia untuk mengurangi gas rumah kaca sebagai penyebab utama krisis iklim. Mulai dari penggunaan energi terbarukan, penggunaan teknologi carbon capture, hingga aksi-aksi untuk menyuarakan krisis iklim secara global. Namun, cara-cara popular tersebut dinilai belum cukup untuk untuk mencapai agenda net-zero emission sebelum ambang waktu kritis. Dibutuhkan solusi yang mampu menekan produksi gas rumah kaca seminimal mungkin sebelum ambang waktu kritis yang ditentukan, yaitu tahun 2030 (IPCC 2022). Nah, salah satu ide yang muncul adalah penggunaan pajak karbon ini.
Sejarah perkembangan Pajak Karbon
(Sumber Foto: Pixabay on pexels.com)
Pada tahun 1990, Finlandia mencatat sejarah sebagai pionir dalam penerapan pajak karbon di tingkat global. Sejak saat itu, 20 negara di Eropa telah mengadopsi sistem pajak karbon dengan tingkat tarif yang beragam, mulai dari kurang dari €1 per metrik ton emisi karbon di Ukraina hingga melebihi €100 di negara-negara seperti Swedia, Liechtenstein, dan Swiss (Tax Foundation, 2020). Hingga saat ini, Swedia, yang memiliki tarif pajak karbon tertinggi di dunia, bersama dengan Finlandia yang menjadi pelopor dalam penerapan pajak karbon, telah berhasil menekan emisi karbon mereka tanpa berdampak negatif terhadap ekonomi negara mereka (Barus, E.B., & Wijaya, S., 2021).
Di Asia, beberapa negara telah mengambil tindakan untuk menerapkan pajak karbon. Contohnya, India (pada tahun 2010), Jepang (pada tahun 2012), Cina (pada tahun 2017), dan Singapura (pada tahun 2019) telah mengambil langkah tersebut (Dewi, I.G.P.E.R. dan Dewi, N.M.S.S. (2022)). Tiga negara besar ini, yaitu Cina, India, dan Jepang, merupakan tiga produsen CO2 terbesar di dunia, dengan total emisi sebesar 17266,5 MtCO2e atau setara dengan 35,88% dari total emisi global. Oleh karena itu, kontribusi dan usaha dari ketiga negara ini dalam mengurangi emisi karbon global memiliki peran yang sangat penting dalam upaya melawan pemanasan global (Worl Resources Institute, 2023).
Pajak Karbon di Indonesia
Indonesia, yang masuk dalam daftar 10 negara terbesar penyumbang emisi karbon di dunia, sekitar 2,08% (Worl Resources Institute, 2023), juga memiliki tanggung jawab moral untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi karbonnya. Karenanya, pada tanggal 23 April 2016, di Kota Paris, Prancis, Indonesia bersama 195 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya menandatangani kesepakatan untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca, yang dikenal sebagai Paris Agreement.
Sebagai komitmen terhadap Paris Agreement, pemerintah Indonesia telah melegalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (Pratama et al., 2022). Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa pajak karbon diterapkan pada pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon (Undang-Undang RI, 2021).
Mekanisme Pajak karbon di Indonesia
Berdasarkan pasal 13 UU No. 7 Tahun 2021, Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Lebih lanjut lagi, pada penjelasan pasal tersebut, disebutkan mekanisme penarikan pajak karbon sebagai berikut:
- Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon;
- Tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara;
- Tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon.
Nah, sampai sini kita tahu bahwa mekanisme pajak karbon yang digunakan di Indonesia adalah cap and tax sedangkan targetnya adalah PLTU. Mekanisme ini merupakan gabungan dari cap and trade system dengan mekanisme tax.
Sebelum membahas sistem cap and tax, terlebih dahulu kita harus mengenali sistem cap and trade ini. Cap merupakan nilai batasan emisi, sedangkan trade berarti perdagangan/berdagang. Dalam sistem cap and trade ini. sebuah perusahaan dapat membeli Persetujuan Teknis Emisi (PTE) dari perusahaan lain yang emisinya dibawah ambang batas. Akibatnya, perusahaan pembeli PTE akan memiliki ambang batas yang lebih tinggi, dalam artian total produksi emisi yang diijinkan juga akan semakin tinggi. Namun, Perusahaan yang menjual PTE nya akan memiliki ambang batas ijin emisi yang lebih rendah, dalam artian semakin sedikit emisi yang boleh perusahaan tersebut hasilkan. Jadi, cap and trade system merupakan mekanisme pajak karbon yang menetapkan ambang batas emisi, di sisi lain ambang batas tersebut dapat diperjual belikan (trade) untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan, uang hasil penjualan bagi perusahaan yang menjual PTE nya dan ijin menghasilkan emisi lebih bagi perusahaan pembeli PTE.
Nah, mekanisme yang dipilih pemerintah Indonesia menggabungkan sistem trading ini dengan sistem tax. Maksudnya bagaimana? Jadi, jual beli PTE antar perusahaan tetap berlaku. Namun disaat produksi emisi perusahaan tersebut melebihi ambang batas (cap) yang ditetapkan, maka perusahaan tersebut harus membayar pajak sebesar nominal tarif yang berlaku untuk setiap emisi di atas ambang batasnya. Dalam Pasal 13 ayat 9 UU Nomor 7 Tahun 2021, disebutkan bahwa jumlah tarif minimal adalah sebesar Rp30 per kilogram CO2e. Tarif ini dipergunakan selayaknya “harga perkenalan” terlebih dahulu kepada para stakeholders (Pamungkas, B.N. and Haptari, V.D. (2022)).
Hal penting lainnya adalah bahwa cap atau ambang batas ini ditetapkan oleh Kementerian ESDM dan dibagi berdasarkan jenis dan kapasitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tersebut. Berikut adalah rincian batasan emisi untuk setiap kelompok PLTU untuk pengaplikasian pajak karbon fase 1 yaitu tahun2023 hingga 2024 (KESDM, 2023):
- PLTU nonmulut tambang dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 25 MW sampai dengan kurang dari 100 MW memiliki batasan emisi sebesar 1,297 ton CO2e per MWh.
- PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW memiliki batasan emisi sebesar 1,089 ton CO2e per MWh.
- PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW sampai dengan kurang dari atau sama dengan 400 MW memiliki batasan emisi sebesar 1,011 ton CO2e per MWh.
- PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW, dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW memiliki batasan emisi sebesar 0,911 ton CO2e per MWh.
Hingga saat ini, pengaplikasian pajak karbon di Indonesia masih dalam tahap pengkajian lebih lanjut oleh pihak pemangku kebijakan. Update terbaru adalah bahwa pemerintah telah meluncurkan bursa karbon Indonesia atau IDXCarbon pada 26 September 2023, yaitu sistem yang mengatur tentang perdagangan karbon. Ini adalah kemajuan yang signifikan menuju pengaplikasian pajak karbon secara menyeluruh di Indonesia.
Penulis: Muhammad Hakim Azis
Editor: Suti Sri Hardiyanti
Daftar Rujukan:
Tax Foundation. (2020). Carbon Tax.https://taxfoundation.org/taxedu/glossary/carbon-tax/.