Bincang Energi Muda (BEM) yang ke #7 kali ini di hari Jumat, 20 Agustus 2021 berkesempatan untuk mengundang narasumber yang luar biasa yakni Satya Hangga selaku co-founder I2EI (The Indonesian Energy & Environmental Institute) yang memiliki segudang ilmu, pengalaman, bahkan sudah pernah melakukan perjalanan ke 40 negara di dunia. Sebelum masuk ke materi inti, Satya Hangga men-disclaim tentang topik “Sustainable Low Carbon Development” bahwa yang berkontribusi pada emisi karbon sebetulnya tidak hanya dari sektor energi, namun juga ada dari sektor misalnya penggundulan lahan, pestisida pertanian, pencemaran maritim, dan lain sebagainya. Akan tetapi memang sektor terbesar dari emisi carbon dioksida yang berasal dari energi fossil yang paling besar yakni berkisar 33% menyumbang faktor emisi carbon gas rumah kaca.
Hangga juga menjelaskan terkait bagaimana kondisi carbon yang ada di Indonesia. Menurutnya, kalau kita berbicara tentang energi, Indonesia masih masuk kedalam energi yang mayoritas masih menggunakan bahan bakar fossil sekitar lebih dari 50%. Keadaan seperti ini bisa dikatakan akan terus seperti ini sampe puluhan tahun kedepan dikarenakan hal ini termasuk dan dilihat oleh Indonesia ‘sebagai mesin penggerak ekonomi’. Oleh karena itu seperti yang kita lihat pemerintah Indonesia mempunyai inisiatif untuk menurunkan harga minyak dan gas.
Namun jika kita melihat kearah puluhan tahun lalu, maka bahan bakar fossil ini dilihat ‘sebagai penghasil ekonomi negara’ dimana net importir terbanyak berasal dari sektor minyak dan gas. Maka bisa disimpulkan bahwa dalam hal energi Indonesia bisa mencapai ketahanan energi akan tetapi tidak bisa mencapai kemandirian energi dikarenakan sudah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004.
Lebih kanjut Hangga menerangkan bahwa ada 2 sektor yang akan menjadi puncak energi masa depan yakni perikaraan dari 15-50 tahun mendatang yakni gas dan energi terbarukan. Mengapa gas masih digunakan dalam upaya ‘sustainable low carbon development’? Karena gas merupakan energi transisi dimana untuk menjadikan energi itu low carbon atau beralih dengan energi terbarukan pastinya butuh : 1) Investasi, 2) Energy fossil dengan harga terjangkau yang masih bisa dijangkau oleh seluruh elemen masyarakat 3) Infrastruktur yang memadai. Maka dalam hal ini diperlukan adaptasi transisi energi karena tidak bisa bila sepenuhnya digantikan oleh energi terbarukan dan sama sekali tidak menggantungkan energi fossil. Dikarenakan hal ini akan memicu negara menjadi collapse dalam segi ekonomi.
Sejalan dengan peraturan yang ada di Indonesia mengenai komitmen energi Indonesia UU No 16 tahun 2016, yakni: 1) Mengurangi/ menurunkan emisi rumah kaca sebesar 314-358 juta ton C2 pada tahun 2030; 2) Efisiensi energi. Serta didukung pula oleh PP 79 Tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional dan Perpres No 22 Tahun 2017 tentang rencana energI nasional.
Selain itu komitmen global terhadap energi salah satu diantaranya yakni menjaga temperatur global agar tidak mencapai lebih dari 20C dan sedang mengupayakan untuk menjadi 1,50C. Hal ini pun sudah dilakukan Indonesia contohnya adalah pengalihan subsidi bahan bakar fossil untuk dialihkan ke kegiatan lain yang produktif yakni misalnya infrastruktur.
Hangga juga menjelaskan bahwa tantangan Indonesia untuk menuju low carbon yakni Indonesia merupakan negara kepulauan yang beragam lebih dari 17.000 pulau dan kependudukan yang hanya terpusat di jawa. Namun dibalik tersebut Indonesia justru memiliki banyak potensi misalnya energi matahari (solar) yang terserap maksimal, angin yang cenderung stabil, air yang melimpah ruah, dan keragaman hayati dari alam tropisnya. Maka dari itu sebenarnya potensi inilah yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk menerapkan energi low carbon yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Menurut Hangga, secara realistis memang masih perlu sekali energi fossil karena infrastruktur dan teknologi untuk menuju energi terbarukan belum memadai, dan untuk mencapai hal itu butuh berpuluh tahun lamanya. Akan tetapi ada beberapa hal yang bisa kita upayakan apabila berkaca dengan Negara lain yang sudah hampir berhasil melakukan “Sustainable Low Carbon Development” yaitu :
1. Menerapkan atau mengembangkan teknologi untuk menurunkan emisi karbon.
Salah satu teknologi yang diterapkan di Negara maju, salah satunya yakni Norwegia untuk menciptakan low carbon adalah Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).
2. Carbon Pricing
Yakni menetapkan biaya untuk polusi karbon yang bertujuan mendorong para pencmar untuk mengurangi efek gas rumah kaca yang mereka hasilkan ke atmosfer.
3. Carbon Tax
Yakni pengenaan pajak atas bahan bakar yang dikenakan berdasarkan pemakaian kadar karbonnya.
Namun seperti yang kita lihat juga bahwa Pemerintah Indonesia sekarang sudah melakukan program co-firing (pembakaran dua jenis bahan yang berbeda secara bersamaan yakni menggunakan biomassa) untuk menuju kesana. Jadi selain keuntungan dari pembakaran bersama adalah bahwa pabrik yang ada dapat digunakan untuk membakar bahan bakar baru, yang mungkin lebih murah atau lebih ramah lingkungan (low carbon) juga diharapkan melalui ini bisa melakukan pembangkit terbarukan baru tanpa investasi terlebih dahulu dan meningkatkan porsi EBT (Energi Baru Terbarukan).
Harapan Hangga yang bisa dilakukan anak muda dan masyarakat umum yakni ikut aktif dalam organisasi/komunitas yang bergerak dibidang energy agar bisa mensosialisasikan melakukan riset, penelitian kemahasiswaan, dan sebagainya. Karena selain menyuarakan juga untuk menambah inovasi yang mungkin akan bisa dilakukan untuk tahapan transisi energi di masa depan.