Sistem energi di Indonesia sarat dengan energi fosil dengan komposisi PLTUnya sekitar 67%. Tidak hanya itu, kelebihan pasokan listrik sistem energi Jawa Bali, sebagai pasar listrik terbesar, akan membuat PLN memilih untuk memprioritaskan penyerapan kapasitas pembangkit fosil yang ada daripada mengembangkan energi terbarukan. Padahal, pengembangan energi terbarukan secara masif menjadi mitigasi yang krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan sehingga dapat mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celcius.

Transisi energi harus tetap dilakukan dengan mengurangi secara bertahap penggunaan PLTU yang berkontribusi sebanyak 50% emisi gas rumah kaca di Indonesia. Bahkan menurut kajian IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, PLTU di seluruh Indonesia harus berhenti beroperasi pada 2045. Pengurangan bertahap pengoperasian batubara dapat dilakukan dengan segera melakukan pensiun dini, melarang pembangunan PLTU baru, serta memodifikasi PLTU yang semula berperan utama dari sistem ketenagalistrikan menjadi peran pendukung (supportive role) sistem ketenagalistrikan sehingga dapat memberikan layanan secara fleksibel (tambahan dan cadangan) ke jaringan.

Bagaimana pengoperasian PLTU secara fleksibel ini dapat terjadi? Apa yang perlu dipastikan agar pengoperasian PLTU secara fleksibel itu hanya langkah sementara?

IESR Bicara Energi dipandu oleh Cherika Hardjakusuma akan bicara mengenai “Pengoperasian PLTU secara fleksibel hanya langkah sementara” bersama Dr. Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR. Stay tune di IESR Bicara Energi!

FOLLOW AND SUBSCRIBE
Episodes

Pengoperasian PLTU Secara Fleksibel sebagai Langkah Sementara

oleh Bincang Energi time to read: 1 min
0