Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret dan Hari Kartini pada 21 April, Episode RuBEn ke-18 mengangkat tema yang sangat relevan: Women’s Role and Influence in Sustainable Energy Development. Diskusi ini tidak hanya merayakan kontribusi perempuan di sektor energi, tetapi juga mengundang refleksi mendalam atas berbagai tantangan yang masih menghambat partisipasi mereka secara setara.
Sektor energi global dan nasional tengah menghadapi tekanan ganda: memastikan ketersediaan energi yang andal sekaligus menekan emisi karbon demi keberlanjutan lingkungan. Namun, transisi energi bukan semata soal teknologi. Di balik instalasi panel surya, pengembangan pembangkit listrik tenaga angin, dan kebijakan dekarbonisasi, ada dimensi sosial yang tak kalah penting: keadilan gender.
Tiga narasumber perempuan hadir dalam diskusi ini, masing-masing membawa pengalaman unik dan komitmen kuat untuk memperkuat peran perempuan sebagai penggerak transformasi energi Indonesia.
☘ Yunita Dyah: Perempuan di Garis Depan Operasi Energi
Sebagai Senior Production Engineer di Harbour Energy, Yunita Dyah mewakili suara perempuan yang terjun langsung dalam aktivitas teknis sektor hulu migas. Ia mengisahkan realitas lapangan yang masih didominasi laki-laki, mulai dari rig pengeboran hingga fasilitas produksi.
“Di lapangan, jumlah perempuan yang terlibat dalam operasi produksi masih sangat terbatas. Namun justru di sinilah letak tantangannya: kami bisa menunjukkan bahwa perempuan punya kompetensi teknis yang sama, bahkan bisa membawa pendekatan yang lebih detail dan kolaboratif.”
Baginya, sektor energi konvensional bukan sekadar masa lalu yang segera ditinggalkan. Para profesional di dalamnya memegang kunci keberhasilan transisi menuju energi bersih melalui optimasi operasi, pengurangan losses, dan efisiensi energi.
Yunita juga menekankan pentingnya role model yang bisa membuka mata generasi muda perempuan bahwa karier teknis bukan hanya untuk laki-laki.
“Kalau tidak ada contoh nyata, perempuan-perempuan muda akan berpikir, ‘Ah, itu bukan dunia saya.’ Padahal justru sekarang momentum untuk menunjukkan kapasitas kita.”
☘ Ravinska Minerva Azura: Memprioritaskan Keadilan Sosial
Ravinska Minerva Azura, GESI and Research Lead di SRE Women, membawa perspektif kritis atas upaya dekarbonisasi yang kadang hanya berfokus pada teknologi dan investasi. Baginya, transisi energi berkelanjutan harus mencakup Gender Equality and Social Inclusion (GESI).
“Sering kali kita lupa, akses energi yang andal dan terjangkau adalah pintu masuk untuk memberdayakan perempuan. Ketika rumah tangga punya listrik bersih, perempuan bisa memulai usaha mikro, anak perempuan bisa belajar di malam hari.”
Namun, data menunjukkan bahwa representasi perempuan di sektor energi masih rendah. Tahun 2021, perempuan secara global menerima pendapatan 21% lebih rendah dibandingkan laki-laki, meski memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Hanya sekitar 32% tenaga kerja di sektor energi terbarukan yang perempuan, dan persentase mereka dalam posisi kepemimpinan jauh lebih kecil. Ketimpangan ini membuat perspektif perempuan dalam perancangan kebijakan sering terpinggirkan.
“Kita tidak bisa merumuskan kebijakan inklusif kalau tidak punya data. Karena itu, riset menjadi instrumen advokasi yang paling kuat.”
Ravinska menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat akses pendidikan, pelatihan teknis, dan program mentoring bagi perempuan.
“Transisi energi yang adil hanya bisa tercapai kalau perempuan bukan sekadar diundang di sesi foto, tapi betul-betul dilibatkan dalam perancangan solusi.”
☘ Khoiria Oktaviani: Komunikasi Strategis sebagai Penopang Kebijakan
Khoiria Oktaviani, Strategic Communications Manager di Kementerian ESDM RI, berbicara dari sudut pandang pemerintah yang merancang kebijakan publik dan strategi komunikasi. Ia menegaskan bahwa target Net Zero Emission 2060 tidak akan tercapai tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat.
“Kalau masyarakat tidak merasa menjadi bagian dari proses, kebijakan akan kehilangan legitimasinya. Komunikasi publik harus mampu menjawab rasa ingin tahu dan kekhawatiran mereka.”
Menurut Khoiria, keberhasilan kebijakan seperti kendaraan listrik dan PLTS atap sangat bergantung pada komunikasi yang membumi dan inklusif. Strategi ini termasuk penggunaan kanal digital, kolaborasi dengan influencer perempuan, serta narasi yang menekankan manfaat bagi kehidupan sehari-hari.
“Saat perempuan memahami dan merasa memiliki peran dalam transisi energi, dampaknya akan jauh lebih luas karena mereka pengambil keputusan di tingkat rumah tangga.”
Khoiria juga menekankan perlunya kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, seperti cuti melahirkan, jam kerja fleksibel, serta transparansi sistem penggajian.
☆ Tantangan yang Dihadapi Perempuan dalam Sektor Energi
Diskusi ini menegaskan bahwa walaupun perempuan memiliki potensi besar sebagai agen perubahan, mereka masih menghadapi tantangan nyata:
1️⃣ Representasi yang Rendah
Perempuan hanya sekitar 32% dari total pekerja sektor energi terbarukan, dengan lebih sedikit lagi yang menduduki posisi pengambil keputusan.
2️⃣ Norma Sosial dan Budaya
Ekspektasi tradisional yang menempatkan perempuan hanya pada ranah domestik membuat akses pendidikan dan pekerjaan teknis lebih sulit.
3️⃣ Keterbatasan Pelatihan dan Pendidikan
Banyak perempuan belum memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan teknis yang menjadi prasyarat karier energi.
4️⃣ Dilema Kehidupan Kerja dan Keluarga
Beban ganda sebagai pekerja dan pengurus keluarga menimbulkan tantangan yang unik bagi perempuan.
☆ Strategi untuk Memberdayakan Perempuan dalam Energi
Maka, sejumlah strategi konkret perlu didorong bersama:
✅ Meningkatkan Kesadaran Gender
Kampanye publik dan edukasi inklusif untuk membangun budaya kerja yang setara.
✅ Membangun Jaringan Dukungan
Komunitas profesional seperti SRE Women menjadi ruang saling menguatkan dan berbagi pengalaman.
✅ Menyediakan Pelatihan Aksesibel
Program pelatihan teknis dan manajerial yang dirancang khusus untuk perempuan.
✅ Mendorong Kebijakan Pro-Perempuan
Perusahaan dan pemerintah harus mengadopsi kebijakan kerja fleksibel, transparansi gaji, serta sistem insentif untuk keberagaman.
☆ Masa Depan Perempuan dalam Energi Berkelanjutan
Ketiga narasumber—Yunita Dyah, Ravinska Minerva Azura, dan Khoiria Oktaviani—menggambarkan satu visi bersama: masa depan energi Indonesia harus lebih inklusif, inovatif, dan berkeadilan. Perempuan membawa perspektif yang unik dan kompetensi yang tak tergantikan, mulai dari lini produksi, riset, kebijakan publik, hingga komunikasi strategis.
“Transisi energi bukan hanya persoalan teknologi baru. Ini soal keberagaman dalam kepemimpinan dan inovasi.”
Dengan semakin banyak perempuan yang memiliki akses terhadap peluang karier, pendidikan, dan ruang pengambilan keputusan, Indonesia akan mampu menciptakan ekosistem energi yang tidak hanya rendah karbon, tetapi juga lebih adil, sehat, dan sejahtera.