COP 26 yang berlangsung di Glasgow mempunyai tujuan untuk mendorong komitmen negara di dunia agar menetapkan target netral karbon pada pertengahan abad sehingga suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat Celcius. Selain itu, COP 26 akan menagih komitmen negara maju untuk memobilisasi pendanaan terkait iklim yang seharusnya sejak tahun 2020, sedikitnya $100 miliar per tahun kepada negara berkembang.
Pada pembukaan COP 26 1 November lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan, di sektor energi Indonesia akan berfokus mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar se-Asia Tenggara, pengembangan energi terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih. Dalam pidatonya tersebut Jokowi juga menekankan pentingnya penciptaan ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil.
Meski demikian, Jokowi tidak menyatakan komitmen yang lebih ambisius untuk mencapai net zero emissions 2050. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tidak hanya itu, sebagai pemimpin G20 pada 2022, kelompok negara yang berkontribusi sebanyak 75 persen emisi karbon global, Jokowi cenderung memilih untuk bergantung pada bantuan negara maju dalam membiayai upaya dekarbonisasi dibanding melihat bahwa krisis iklim sebagai masalah yang personal dan urgen.
Podcast IESR Bicara Energi mengenai COP 26 kali ini akan melihat dinamika negosiasi iklim Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap ‘super power’ secara ketahanan iklim, dan juga pemimpin G20. Awalnya pada pidato Presiden Jokowi justru tidak menekankan peningkatan aksi iklim yang ambisius. Namun kemarin kita mendengar Indonesia baru saja menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih). Pada hari yang sama Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, juga menyatakan bahwa pemerintah mengkaji peluang mempensiunkan dini PLTU batubara dengan kapasitas total 9,3 GW sebelum tahun 2030 (4/11/2021) yang bisa dilakukan dengan dukungan pendanaan mencapai $48 miliar. Tidak hanya itu, Podcast COP 26 juga akan menyoroti perkembangan negosiasi pembiayaan iklim negara maju ke negara berkembang yang menarik untuk diketahui.